Jumat, 14 Desember 2012

Day 4 Muter-Muter Nggak Jelas dan Ditelantarkan di Phuket

Pada hari terakhir kami di pulau Phuket kami akan keliling Phuket untuk melihat obyek wisata yang ada di sana. Kami akan dijemput jam 11 untuk city tour sekalian diantar ke terminal bus Phuket. Hari ini akan bergabung dengan Yanti dkk, karena mereka juga akan naik bus yang sama menuju Bangkok. Seharusnya sih untuk city tour 3 orang selama 5 jam kami membayar 1200 THB, jadi ketika Mr. Pu ngomong kalau kami bakal digabung dengan Yanti dkk aku langsung protes minta penurunan harga tapi dia tetep nggak kasih. Huh bete, aku pake jasa Mr. Pu karena dia direkomendasikan di forum Female Daily dan Kaskus tapi kenyataannya dia hanya seorang pedagang yang cari untung. Dia nggak sebaik yang dikatakan pemakai jasa di forum.
Sebelum dijemput kami beres-beres kamar, dan sarapan roti. Jam 10.30 kami turun untuk check out, menitipkan koper di lobi lalu mencari makan siang di dekat Sea Blue. Menu makan siangku kembali nasi goreng  dan kali ini ditemani teh manis panas. Nana pesan nasi goreng sayur, Vivi pesan mie rebus. Selesai makan kami kembali ke Sea Blue, jam sudah menunjuk ke angka 11 tapi jemputan belum datang. Beberapa menit kemudian Mr. Pu menelepon untuk memberitahu 5 menit lagi jemputan datang. Ternyata di luar hujan turun, walau nggak deras.
Sebenarnya berdasarkan ramalan cuaca, September dan Oktober merupakan bulan terbasah. Untungnya selama di sana cuma sekali mengalami gerimis dan hujan yang tidak begitu deras. Jam 11 lebih 15 menit, jemputan datang. Penjemput kami bukan Mr. Pu atau Abubakar, tapi sopir yang nama depannya diawali dengan huruf P (nggak ingat namanya). Saat tiba di bandara Phuket kami dijemput menggunakan Avanza, sekarang kami dijemput dengan Toyota Commuter. Jenis mobil yang sama dengan yang mengantar jemput kami ke dermaga waktu tur Phi-Phi. 
Mobil sudah diisi oleh Yanti dkk, si P mengemudikan mobil melewati pantai Karon, lalu pantai Kata. Sampailah kami di Kata viewpoint, namun karena hujan kami tidak turun dan melanjutkan ke tujuan berikut yaitu Prompthep viewpoint. Sebelum kami turun dari van, P berpesan "If rain you walk quick-quick ya" (maksudnya dia minta kita cepat kembali ke mobil jika hujan turun). Di tempat ini kita bisa melihat pantai-pantai dan laut. Di sini juga terdapat patung gajah dalam berbagai ukuran yang sepertinya digunakan sebagai tempat berdoa. Kami foto-foto selama kira-kira 45 menit sebelum beralih ke tempat lain.
Pemandangan dari Prompthep View Point


Mobil bergerak melewati pantai Rawai dan terus berjalan menuju Big Buddha. Jalan menuju obyek wisata yang mirip Garuda Wisnu Kencana di Bali itu sangat curam dan bila hujan sopir sering menolak untuk mengantar ke sana. Untungnya saat itu cuaca terang. Gerimis turun ketika kami sampai di Big Buddha. Obyek wisata ini berupa patung Buddha besar, yang hingga saat ini masih dibangun. Nggak ada yang menarik dari obyek wisata ini, selain pemandangan dari Big Buddha view point. Setelah puas foto-foto, kami menuju obyek wisata berikutnya yaitu Wat Chalong. 




Pemandangan dari Big Buddha View Point
Wat Chalong



Sebenarnya di Wat Chalong ada beberapa kuil, tapi karena cuaca panas kami hanya masuk ke dalam satu kuil. Kuil yang kami masuki memiliki 3 lantai di mana pada setiap lantai berisi patung-patung Budha. Kami kembali ke van, dan P memberitahu tujuan berikutnya adalah toko makanan yang menjual oleh-oleh khas Thailand. Nama toko itu adalah Pronthip Snack, ketika masuk ke toko kami diberi stiker yang menunjukkan bahwa kami satu rombongan, mirip toko oleh-oleh di Bali. Di sini kami nggak lama dan aku hanya membeli abon babi, manisan pala dan snack seafood. Tujuan berikutnya adalah toko baju Madunan, yang katanya mirip Joger di Bali. Jujur aku udah tiga kali ke Bali dan belum pernah ke sana karena nggak tertarik. Jadi sebenarnya bete banget waktu di bawa ke sini. Jadinya aku dan Nana cuma duduk-duduk sementara yang lain belanja. Pemilik toko ini bisa berbahasa Indonesia tapi dengan logat Melayu kental. 
Pembayarannya pun bisa menggunakan mata uang rupiah, dengan nilai tukar 1 THB=300 IDR, lebih murah dari bath yang ku tukar di Jogja. Untuk produknya sendiri kisaran harganya 149 THB, menurutku sih kualitasnya setara dengan baju yang ku beli di MBK seharga 99 THB. Baju yang dibeli di MBK malah sablonannya lebih bagus. Selesai belanja Vivi bergabung dengan aku dan Nana duduk di dekat kasir. Kami mendengar percakapan kasir dan dua orang pembeli yang berbahasa Indonesia. Yah, ketemu orang Indonesia lagi. Salah satu pembeli itu, cowok berkacamata lalu menghampiri Vivi dan bertanya, "Dari Indonesia ya?" Si kacamata ternyata berasal dari Kalimantan. 
Penjual batik made in Indonesia di Phuket Town


Setelah yang lain selesai belanja, kami meneruskan perjalanan menuju Phuket town, P menghentikan van di kota tua. Sepi, itu kesan pertama yang muncul dalam otakku. Kota tua ini memiliki bangunan-bangunan Sino-Portugis, dan itulah daya tariknya. Di Indonesia bangunan-bangunan tua era kolonial dibiarkan terbengkalai atau malah dihancurkan dan dibangun bangunan baru yang bentuknya mirip rumah boneka. Sayang ya, pemerintah kita nggak peduli pada sesuatu yang sebenarnya bisa menambah nilai jual pariwisata Indonesia. Ok, cukup ceramahnya mari kita lanjut ke Phuket town. 
Kami berputar-putar di sekitar Thalang road sambil foto-foto. Rombonganku berpisah dengan rombongan Yanti yang entah berjalan sampai kemana. Rombonganku mampir ke Kopitiam Wilai untuk makan malam. Kami kompak memilih makan misoa rebus, tapi isinya berbeda. Aku dan Vivi memilih misoa babi, Nana memilih misoa bakso ikan. Untuk minuman aku dan Nana memilih wedang jahe yang tentu saja nggak pakai gula Jawa tapi rasanya enak, sementara Vivi memilih es asam. Interior restoran ini benar-benar kuno meja, kursi, lemari, dan rantang yang dipajang sepertinya sudah tua membuat kami serasa berada dalam setting film Mandarin. Di kota tua ini juga ada perusahaan percetakan yang masih menggunakan mesin tua. Thalang road juga memiliki penginapan, cafe, dan toko yang menjual batik made in Indonesia. 
Suasana kota tua
Interior Kopitiam Wilai

Ternyata Phuket old town merupakan akhir dari city tour kami, karena P langsung menurunkan kami di terminal bus. Berhubung masih jam 5, bus kami berangkat jam setengah 7, Yanti mengusulkan untuk ke Phuket weekend market, namun P menolak dengan alasan jauh. Saat kami minta diantar ke Big C, P kembali menolak kali ini dengan alasan waktu sudah habis. Yo wislah dengan tampang super bete kami menurunkan bawaan kami, dan tanpa mengucapkan terima kasih kami masuk ke terminal. Tiket yang kami terima dari Mr. Pu berhuruf Thai, yang membuat kami semakin bingung bus kami berada di mana. Salah satu teman Yanti berinisiatif untuk bertanya kepada salah seorang pegawai bus yang menunjukkan platform tempat bus kami. Berhubung masih jam 5, bus kami belum datang. 
Kami pun terpaksa menunggu di terminal. Phuket memiliki dua terminal bus, untuk perjalanan antarpropinsi menggunakan terminal bus baru sedangkan perjalan jarak dekat menggunakan terminal bus lama. Jarak antara kedua terminal kira-kira 2 km, dan pemerintah menyediakan angkutan yang menghubungkan dua terminal ini. Terminal baru diresmikan 2012, bagian depan terminal terdapat loket tiket berbagai tujuan. Aku menyesal beli tiket lewat Mr. Pu karena harga yang dia minta tidak sesuai dengan yang tertera di tiket, dan bus yang kami tumpangi berkapasitas 36 penumpang bukan 24 seperti permintaan kami. Pelajaran yang kami dapat, beli tiket bus langsung di terminal dan pilih bus vip ac 24 seats milik pemerintah seperti yang direkomendasikan orang-orang di internet.
Di terminal ini juga terdapat minimarket, dan tentu saja toilet. Pengguna toilet harus membayar 3 THB, toilet sih lumayan bersih tapi baunya pesing banget. Jam 6 bus kami datang, kami melapor ke petugas bus yang berseragam dan memasukkan barang ke bagasi. Sebelum dimasukkan bagasi barang-barang diberi label, yah mirip-mirip bagasi pesawat. Nggak tahu di Indonesia sebelum masuk bagasi barang dikasih label dulu nggak.
Bus yang membawa kami dari Phuket ke Bangkok.
Setelah bagasi masuk bus, giliran kami yang masuk. Kami bertujuh mendapat nomor 23, 24, 27, 28, 31, 32, 36. Aku dan Nana duduk di kursi nomor 31 dan 32 sedangkan Vivi di kursi nomor 36 yang berada tepat di belakang kami. Sebenarnya saat memesan tiket lewat Mr. Pu aku udah ngomong kalau kami minta kursi sederet, tapi ya sudahlah. Maklum bahasa Inggris Mr. Pu nggak bagus, kalau ngomong lewat telepon suka bingung maksudnya apa. Seorang bapak kru bus membagi-bagikan snack, air mineral dan jus buah kotak pada setiap penumpang. Si bapak juga meminta kami menunjukkan tiket sambil ngomong pakai bahasa Thai entah apa maunya. Nana sibuk memperhatikan penumpang yang masuk ke bus sambil menebak-nebak siapakah yang beruntung menjadi pendamping Vivi (maksudnya duduk di samping Vivi). Ketika bapak kru bus tadi berjalan bersama seorang bule muda ke arah kami, Nana semakin heboh. Akankah bule yang ku beri nama sleeping ugly (honestly, he's not that ugly) duduk di sebelah Vivi? Ternyata tidak, si bule duduk sederet sama Yanti. Dia duduk di kursi tunggal karena tempat duduk bus ini 2-1 maksudnya 2 kursi dempet dan 1 kursi tunggal. 
Jam 18.30 bus belum menunjukkan tanda mau berangkat. Jam karet, padahal pas baca di blog orang Indo yang pernah naik bus vip (tapi dia naik yang punya pemerintah bukan swasta), bus malam di Thai tepat waktu jadi pas naik bus ini ekspektasiku kalau bus bakal on time tinggi banget. Dua puluh menit kemudian bus bergerak meninggalkan terminal dan Vivi tetap duduk sendiri. Bus memutar musik khas Thai, yang mengingatkan pada musik dangdut atau campursari yang sering diputar sopir bus di Indonesia. Berisik banget, aku udah khawatir kalau sepanjang perjalanan bakal disuguhi musik ini, tapi ternyata tidak. 
Beberapa lama kemudian, bus memutar film-nya Jason Statham yang didubbing pakai bahasa Thai, ya sami mawon nggak mudeng artinya. Bus berhenti sebentar, nggak tahu ngapain, kami duduk di lantai 2 bus jadi nggak ngerti apa yang dilakukan sopir saat berhenti. Bus kembali berjalan dan akhirnya melewati jembatan yang menghubungkan Phuket dengan benua Asia. Ok, this is time to say goodbye to Phuket.

Rabu, 07 November 2012

Day 3 Lost in Patong

Hari ketiga di Phuket, kami hanya ingin berjalan-jalan di sekitar Patong. Berjalan-jalan dalam arti sebenarnya alias pergi ke tempat-tempat yang bisa ditempuh dengan kaki. Setelah sarapan roti kismis yang di beli kemarin, kami berjalan kaki menuju pantai Patong. Sebelumnya kami bertanya arah ke si tante yang berjaga pagi di Sea Blue. Kami pun berjalan menuju Jungceylon mall, si tante bilang kami bisa menyusuri Jungceylon dan akan menemukan Bangla road untuk menuju pantai. Tapi mall masih tutup, kami pun bertanya kepada satpam mall yang tidak bisa berbahasa Inggris. Dia menunjukkan dengan tangan, dan saat ditanya macam-macam hanya bisa berkata "yes,yes" sambil mengangguk-angguk. Ok, berdasarkan bapak itu kami belok kanan dan akan menemukan jalan ke pantai. 
Kami menuruti petunjuk si bapak tapi malah memutari mall itu. Kami pun kembali bertanya pada penjaga pintu mall, sekali lagi di antara ketiga bapak yang berjaga tak ada yang bisa berbahasa Inggris. Mereka kembali menyuruh kami belok kanan. Kami belum menemukan jalan menuju pantai dan berjalan tanpa arah. Akhirnya kami mampir di SeVel untuk membeli minum, tadinya sih pengen beli Pocari Sweat tapi nggak nemu. Nanya ke pelayan, dia nggak ngerti maksudku. Anehnya pas ditanya jalan menuju pantai dia bisa bilang 20 menit jalan kaki. Kami kembali berjalan dan menyeberang lalu belok kiri. Dari kejauhan kami melihat pantai dan tidak perlu berjalan selama 20 menit. Yeay, ketemu juga. 
Pantai Patong yang mirip Anyer

Pas menemukan peta, baru ketahuan kami berjalan terlalu jauh, padahal jika melewati Bangla road kami hanya perlu berjalan 10 menit saja. Sampai di pantai, kami menyewa kursi pantai dengan tarif 100 THB/kursi untuk seharian dari seorang cowok yang mengaku bernama Tsunami. Cowok berkulit hitam legam ini mirip banget dengan mas-mas yang ada di pantai Kuta. Berkali-kali Tsunami menawari kami untuk bermain jet ski, banana boat atau parasailing. Semuanya kami tolak, kami memberi alasan "we don't want to get wet." Sebenarnya alasanku karena nggak mau menghabiskan banyak uang di Phuket, setelah Phuket kami masih akan pergi ke Bangkok. Kami berkali-kali menolak tawarannya, Tsunami jadi ngomel-ngomel nggak jelas dan sasarannya adalah Vivi, karena dia yang ditawari. 
Pantai Patong ini biasa banget, nggak ada yang istimewa. Menurutku sih mirip Anyer apa Kuta. Berhubung masih pagi, pantai masih sepi, hanya ada beberapa bule yang sedang berjemur dan bermain air. Beda banget dengan Phi-Phi yang rame. Kami cuma main ombak sebentar dan nggak seharian di pantai itu. Jam 11 kami meninggalkan pantai untuk kembali ke Sea Blue, jam 12 Mr. Pu akan datang untuk mengantarkan tiket bus ke Bangkok. Kali ini kami ingin melewati jalur yang benar alias melewati Bangla road. Berdasarkan peta untuk menuju Bangla road kami harus menemukan pos polisi. Berjalan sampai ujung pantai dan kami menemukan pos polisi, kami belok kanan dan menyusuri di Bangla road. Di sepanjang jalan itu penuh bar, yup daerah ini merupakan pusat kehidupan malam di Patong. Sayangnya nggak berkesempatan muter-muter Bangla pas malam. Berhubung perut sudah keroncongan kami celingak-celinguk untuk mencari tahu apakah diantara bar-bar ini ada warung makan. 
Ketika melongok ke salah satu gang kami menemukan tempat makan. Ada yang menjual makanan prasmanan yang mirip masakan Padang ada juga yang menjual Chinese food. Pilihan kami jatuh pada Chinese food. Aku makan mie goreng babi seharga 50 THB. Rasa masakannya manis, mie yang digunakan mirip dengan kwetiaw Bangka, bentuknya besar-besar. Setelah kenyang kami kembali menyusuri Bangla dan berhenti di penjual buah untuk membeli semangka, nanas dan air kelapa. 
Mie goreng super manis.

Perjalanan berlanjut menuju Sea Blue. Jam 12 Mr. Pu datang dan setelah memberikan tiket dia pergi. Lalu kami berjalan ke Family Mart untuk membeli lem untuk sol sepatuku sekalian membeli air mineral. Ternyata harga air mineral di sini lebih murah daripada SeVel, harganya selisih 5 THB. Lumayan banyak kan. Sorenya kami pergi ke Jungceylon mall untuk makan malam dan jalan-jalan. Mall ini cukup besar dan mengingatkan pada Bugis Junction. Namun, di sini ada kolam besar lengkap dengan replika kapal dan air mancur. Setiap jam 7 malam ada pertunjukan air mancur yang cukup menyedot perhatian pengunjung. Sebelum makan malam kami menonton film 4D yang hanya berdurasi 15 menit. Tiketnya seharga 250 THB, kita bebas memilih film apa yang ingin ditonton dari empat film yang ditawarkan. Pilihan kami jatuh pada film dengan tema horor di pertambangan, yang sebenarnya nggak jelas juga ceritanya apaan. Saat menonton aku teringat pada wahana Revenge of the Mummy di Universal Studios Singapore. Perut terguncang-guncang, untung kami belum makan jadi perut aman. 
Replika kapal dan air mancur di Jumgceylon Mall

Selesai nonton tujuan berikutnya adalah makan di Foodhaven, foodcourt yang bersistem pembayaran sama dengan Urban Kitchen. Sayangnya pilihan makanan di sini sedikit, akhirnya aku sama Nana makan nasi ca kangkung plus babi krispi sepiring berdua. Porsinya lumayan gede sih. Habis makan kami ke toko buku, dan jam 7 nonton pertunjukan air mancur, setelah itu kami balik ke penginapan untuk berkemas-kemas, karena besok adalah hari terakhir kami di pulau Phuket.

Rabu, 31 Oktober 2012

Day 2 Pulau Leonardo Di Caprio

Maya Bay
Hari kedua kami akan dimanfaatkan untuk tur ke pulau Phi-Phi. Tur ke pulau yang sering dikenal sebagai pulau Leonardo Di Caprio itu tersedia dengan transportasi speedboat maupun kapal besar. Tur dengan speedboat lebih mahal karena tempat yang dikunjungi lebih banyak dan peserta tur lebih sedikit, namun waktu tempuhnya lebih cepat daripada kapal besar. Awalnya aku sempat ragu naik speedboat takut mabuk, tapi dengan pertimbangan jalannya lebih cepat akhirnya aku memilih speedboat. Jemputan ke tur Phi-Phi kira-kira datang jam 8. Kami bangun jam 6, aku dan Nana sengaja nggak mandi, karena hari sebelumnya sudah mandi terlalu malam. :-P Begitu Vivi selesai mandi, kami berjalan ke Seven Eleven dekat penginapan untuk membeli sarapan sekalian top-up pulsa. Aku dan Nana membeli dua croissant seharga 12 THB per biji dan 1 roti kismis seharga 18 THB. Lalu kami kembali ke Sea Blue untuk sarapan, pukul 07.45 kami turun ke lobi untuk menunggu jemputan. 
Ternyata jemputan baru datang pukul 8 lebih 5 menit. Van yang menjemput kami sudah penuh dan hanya menyisakan 5 tempat duduk. Aku memilih duduk di bagian tengah bersebelahan dengan pasangan suami istri asal Indonesia. Nana dan Vivi duduk di belakangku. Kursi belakang sudah dipenuhi serombongan bule yang sepanjang perjalanan terus mengoceh atau bahasa Jawanya epyek. Di bangku depan, ada seorang bule cowok. Setelah menjemput kami, van masih menjemput penumpang lain, yaitu dua orang cowok berwajah Asia Selatan, entah orang India atau Pakistan.
Perjalanan menuju dermaga memakan waktu kira-kira 45 menit. Sampai di dermaga kami diberi benang wol bernama pink sebagai penanda grup. Di dermaga disediakan teh dan kopi untuk dinikmati sembari menunggu masuk speedboat, di dalam speedboat penumpang juga disuguhi air mineral dan minuman ringan. Sebelum masuk kapal, guide kami yang bernama Edi melakukan briefing soal rute dan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kemudian kami digiring menuju kapal, sebelum masuk kapal setiap rombongan difoto terlebih dahulu. Sambil menunggu giliran, aku mengobrol dengan Yanti yang berasal dari Bogor. Dia ke Phuket bersama temannya Diana dan dua teman cowok mereka yang aku nggak tahu namanya. Akhirnya kami masuk kapal, karena masuk belakangan, kami hanya kebagian tempat duduk yang tersisa. Aku dan Nana duduk bersebelahan, aku kembali duduk bersebelahan dengan pasangan Indonesia tadi (Icha dan suaminya). Vivi duduk bersebelahan dengan rombongan bule epyek tadi dan Diana. 
Bule-bule itu terdiri dari dua cewek yang kami sebut si bulu mata palsu (heran deh ni cewek mau snorkling pake bulu mata palsu) dan si kacamata besar (karena kacamatanya nggak sinkron dengan mukanya yang mungil), dan lima cowok: si bodong, kolor ijo, kolor oranye, kolor item dan si tinggi. Para kolor ini memakai celana bertuliskan Phuket hanya warnanya yang berbeda, dan ups, celana dalam mereka pun sama. Begitu waktunya berenang para kolor ini langsung memamerkan undies bermerek Bonds. 
Speedboat berjalan pelan ketika sampai di Viking Cave. Di sini penumpang hanya bisa foto-foto dari atas kapal dan tidak bisa turun. Lima belas menit kemudian, kapal kembali berjalan dengan kecepatan lebih cepat. Sampailah kami di Maya Bay yang menjadi lokasi syuting film the Beach yang dibintangi idola masa laluku, Leonardo Di Caprio. Berhubung tamu bulananku datang di waktu yang tidak tepat, aku nggak bisa snorkling atau basah-basahan di pantai. Yo wis, aku hanya foto-foto hingga waktunya kami naik kapal. Tujuan selanjutnya adalah Monkey beach, di sini penumpang bisa memberi semangka pada monyet. Dan, yang nyebelin adalah ketika salah seorang guide memberi salah seekor monyet Coca Cola langsung dari botol. Seharusnya si guide ini memberi contoh yang baik, bukannya menyiksa si monyet. 
Viking Cave


Di sini kami hanya diberi waktu lima belas menit kemudian kami kembali masuk kapal menuju Pileh bay untuk snorkling di tengah laut selama 45 menit. Selama itu aku hanya duduk-duduk di dalam kapal, sementara Nana sempat nyemplung sebentar. Setelah Pileh tujuan selanjutnya adalah makan siang di pulau Phi-phi Don. Menu makan siang prasmanan adalah tom yam nggak pedas, ikan goreng tepung, spaghetti. Rasanya sih biasa banget. 
Selesai makan siang masih ada sisa waktu untuk bersantai di pantai atau melihat-lihat cenderamata. Oh, ya toilet di sini bersih dan gratis pula. Jam setengah satu kapal kembali bergerak, kali ini menuju pulau Khai yang merupakan tujuan terakhir kami. Di pulau kecil berpasir putih dan berkarang ini kami diberi waktu satu setengah jam. Khai sangat kecil, dan tidak ada pemukiman di sini, yang ada biawak. Kami pun hanya duduk-duduk di bebatuan, sebelum tergoda untuk bermain di pantai. Toilet di sini jorok, dan nggak gratis. Untung aku nggak kepengen pipis. Setelah waktu habis, guide memanggil grup kami untuk masuk kapal. Namun, walau sudah diberitahu jam berapa harus kembali ke kapal tetap saja ada yang ngaret. 
Bodong bersaudara termasuk yang ngaret, karena mereka mampir dulu ke bar, terlihat dari minuman yang mereka bawa. Si bulu mata palsu membawa bir, si kacamata besar, kolor item dan bodong membawa pina colada di dalam kapal. Rombongan yang terakhir masuk adalah sekeluarga asal Australia (tapi berwajah Asia Selatan). 

Perjalanan menuju ke dermaga hanya membutuhkan waktu 15 menit. Di dermaga kami kembali dijemput oleh van yang sama dan tentu saja dengan penumpang yang sama pula. Bodong bersaudara kembali menguasai kursi belakang, aku, Nana dan Vivi kali ini duduk sebangku di jok belakang sopir. Dua cowok Asia Selatan duduk di samping sopir. Icha dan suami duduk di belakangku, dan si bule solo traveler tergusur duduk di samping suami Icha. Jika pas berangkat kami mendapat giliran dijemput akhir, saat kembali ke penginapan pun kami kembali diantar akhir. Bodong bersaudara mendapat giliran pertama, kemudian si solo traveler, disusul Icha dan suaminya setelah itu van menurunkan kami di depan Sea Blue. 
Sampai di kamar, kami langsung bergiliran mandi. Setelah badan segar kami mencari makan malam di Banzaan market. Aku dan Vivi membeli sate babi seharga 10 THB/tusuk, Nana membeli bakso ikan. Sambil makan kami mencari makanan lain yang lebih berat. Pilihan Nana jatuh pada bihun yang rasanya super manis, Vivi membeli iga babi sementara aku membeli ayam goreng seharga 30 THB namun sayang nasinya ketan bukan nasi biasa. Lalu kami berjalan kembali ke penginapan untuk makan malam.

Kamis, 25 Oktober 2012

Day 1 Sawadee ka

Pesawat berangkat dari Jakarta tepat waktu, sebelumnya aku sempat khawatir jika pesawat akan mengalami delay seperti sehari sebelumnya dalam penerbangan kami dari Yogyakarta ke Jakarta. Gara-gara ada tamu VVIP di bandara Adi Sucipto, penumpang yang sudah duduk manis di dalam pesawat disuruh kembali ke ruang tunggu dan penerbangan ditunda satu jam. Benar-benar menyebalkan, untung tidak terjadi lagi.
Sampai Phuket tepat waktu, setelah mengisi kartu imigrasi mendapat cap di paspor dan mengambil bagasi, kami  mengambil sim card gratis True Move. Tanpa sempat foto-foto bandara kami keluar dan sudah ditunggu Mr. Puttachat. Setelah mengobrol sebentar dengan Mr. Pu kita diantar ke penginapan oleh sopirnya yg bernama Abubakar. Perjalanan memakan waktu kira-kira 40 menit. Sepanjang perjalanan Abubakar menyetel musik galau Thai kencang-kencang mungkin karena dia merasa terganggu dengan suara berisik kami yang mengoceh dalam bahasa Jawa dan Indonesia. 
Tiba di penginapan kami langsungg check-in, staff Sea Blue yg menerima kami seorang cowok yang tidak ramah. Berhubung kami tidak tahu namanya dan tidak berniat untuk mencari tahu, kami menyebutnya dengan sebutan hyung. Kami diminta mengisi form berisi data diri tamu, lalu si hyung memindai paspor kami. Setelah mengurus pembayaran hyung mengantar kami ke kamar yang terletak di lantai 3. Melihat 3 orang perempuan berpostur mungil yang terengah-engah saat membawa koper, si hyung tetap nggak tergerak untuk membantu. Si hyung langsung kabur setelah menyerahkan kunci. Begitu membuka pintu kamar, kami langsungg terpesona karena kamar kami melebihi harapan kami. Kamar luas tv kabel ada channel V, air mineral gratis. 
Nasi goreng Melayu
Jam setengah sembilan kami turun ke lobi untuk menunggu Mr. Pu, ternyata sampe jam 9 dia belum datang, padahal kami sudah kelaparan. Jam sembilan lewat, si mister baru muncul. Setelah menyelesaikan pembayaran untuk tur ke Phi-Phi dan city tour, kami langsung kabur ke Banzaan market yang berjarak 5 menit jalan kaki dari Sea Blue. Muter-muter pasar, dan bingung mau makan apa. Akhirnya pilihan kami jatuh pada nasi goreng yang tidak pedas seharga 40THB. Si penjual seorang ibu berjilbab yang fasih berbahasa Melayu. Si ibu cerita kalau dia asli Thai, tapi keluarganya tinggal di Malaysia. Dia pindah ke Phuket 2 tahun lalu karena susah mencari pekerjaan di Malaysia. Kami kemudian mencicipi raisin pancake, yang bentuknya mirip martabak telur hanya isinya yang beda. Pilihan isi ada bermacam-macam seperti kismis, pisang, keju dll. Keluar dari Banzaan market kami menuju toko-toko yang menjual kaos dan pakaian renang. Aku dan Vivi sibuk memilih, sementara Nana yang sudah kelaparan asyik makan pancake. Tawar menawar tapi tetap nggak dapat harga murah, akhirnya aku beli satu, sementara Vivi batal beli. Akhirnya kami balik ke hotel untuk menyantap makan malam kami, mandi lalu tidur. Besok waktunya ke pulau Leonardo Di Caprio. Yeay.................

Minggu, 21 Oktober 2012

Persiapan Sebelum ke Thailand


Bulan Oktober adalah bulan yang ku tunggu karena pada bulan ini aku bersama adikku dan teman kita akan terbang ke negeri gajah putih untuk jalan-jalan. Tiket sudah ada di tangan sejak tujuh bulan yang lalu. Walau nggak pernah beruntung mendapat tiket dengan harga ajaib, kita mendapat tiket dengan harga terjangkau.
Urusan tiket beres, selanjutnya kita mulai mencari tempat menginap. Selama di Thailand kita akan menginap di Phuket dan Bangkok. Penginapan di Bangkok sudah kita book sejak April, kita memilih Merlin Lodge karena dekat dengan stasiun BTS Punnawitthi. Pilihan ini atas rekomendasi teman yang sudah pernah menginap di sana. Kita memilih untuk mengambil triple room seharga THB 890/malam. Untuk memesan kamar aku langsung menghubungi surel mereka, respon dari Ken si pemilik hotel sangat cepat. Dan, yang lebih menyenangkan lagi adalah kami tidak perlu uang muka.
Sementara penginapan di Phuket kita book Sea Blue Phuket Guesthouse pada bulan Mei melalui situs resmi mereka yang terhubung dengan Hostelworld. Pilihan kita adalah family room dengan harga THB 621/malam, berbeda dengan Merlin, pemesanan kamar di Sea Blue membutuhkan uang muka senilai 10% dari total biaya kamar. Alasanku dan temanku memilih Sea Blue adalah penginapan ini ala hostel backpacker yang memiliki kamar pribadi berfasilitas hotel (tv, dvd, ac, air panas dan kamar mandi dalam).
Tiket beres, penginapan beres, selanjutnya aku mengurus transportasi di Phuket dan tur di sana. Di Phuket kami memakai jasa Mr. Puttachat dari Cherry Travel untuk jemputan dari bandara, tur ke Phi-Phi dan city tour. Dia ini sangat terkenal di forum kaskus dan female daily karena sering dipakai oleh orang Indonesia. Dua minggu sebelum berangkat aku menghubungi Mr. Puttachat melalui email naranong_2524@hotmail.com setelah dua hari belum dibalas, aku mengirim kembali email dan kali ini langsung dibalas oleh Vinyoo Naranong, yang ternyata adalah istri Mr. Puttachat. Sebelumnya aku menghubungi Ms. Ladda, agen yang juga sering dipakai orang-orang Indonesia. Namun, harga yang ditawarkan Ladda lebih tinggi dari Puttachat. Untuk Bangkok kami akan mengandalkan transportasi umum mereka, yang jelas lebih bagus dan modern daripada Phuket.
Urusan terakhir adalah menukar uang. Ini urusan yang agak susah karena di Jogjakarta stok Bath tidak sebanyak di Jakarta, selain itu nilai tukarnya juga tinggi. Setelah browsing sana sini dan menemukan daftar money changer di Jogjakarta, langkah selanjutnya adalah menelepon untuk menanyakan rate. Rate termahal 350 IDR dan termurah 325 IDR. Akhirnya diputuskan untuk menukar uang di money changer Gajah Mas Mulyasakti di kawasan Malioboro.


Daftar nama dan alamat money changer di Yogyakarta: 
PT Barumun Abadi, Natour Garuda, Jalan Malioboro 60, (0274) 563314 
PT Intan Artha Mataram, Jalan  Malioboro 18, (0274) 563814 
PT Intra Bilex, Kantor Pos Besar I, Jalan Pangeran Senopati 2, Loket 12, (0274) 383406/414860 
PT Alif Internasional, Jalan  Pasar Kembang No 19 
PT Dollar Center, Jalan Pasar Kembang 85-88, (0274) 587648
PT Artamas Buana Jati, Jalan Pangeran Mangkubumi No 4, (0274) 587558 
Defitama Bagus Sejahtera, Jalan Jendral Sudirman 9-11, (0274) 542131 
Dua Sisi Jogja Indah, Jalan Gandekan Lor 17-19, (0274) 515416 
Gajah Mas Mulyosakti, Jalan Jendral A Yani 86A, (0274) 517959 
Haji La Tunrung, Jalan Pasar Kembang 17, (0274) 560429 
Mendut Valasindo, Jalan Pasar Kembang 49, (0274) 582506 
Santana Monikaya, Jalan Pangeran Diponegoro 116/118, (0274) 513873 
Yusuf Khusaini, Jalan Sosrowijayan 72, (0274) 582653. 
Tiga hari sebelum kita berangkat Thailand diterpa badai dan siaga banjir. Peristiwa ini jelas membuat kami was-was dan kecewa sekaligus bingung. Penantian kami selama tujuh bulan terancam gagal pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi. Kami hanya bisa memperbanyak doa dan tetap memantau perkembangan berita.